Powered By Blogger

Minggu, 16 Mei 2010

Salah meletakkan posisi hati dan salah mendefinisikan cinta.

1. LETAKKAN POSISI HATI DENGAN BENAR

Cinta berhubungan dengan hati, itu pasti, karena di dalam hati ada unsur keindahan, semangat dan kebahagiaan, maka 3 hal ini ada kemungkinan besar berhubungan dengan cinta. Banyak dari kita yang meletakkan posisi kebersamaan dan penerimaan cinta sebagai titik tertinggi dari keindahan, semangat dan kebahagiaan. Karena itu kita gusar, sedih, dan sengsara ketika cinta kita tidak diterima oleh sang pujaan hati. Dan kita sangat menderita ketika kita tidak bisa memiliki kebersamaan dengan sang kekasih tercinta. Inilah titik sentral masalah cinta ala Layla – Qais, Roro Mendut – Pronocitro, maupun Romeo – Juliet.

Menempatkan posisi kebersamaan dan penerimaan bukan sebagai titik tertinggi dari cinta adalah faktor terpenting yang membuat cinta tidak akan bisa membunuh kita ;) . Saya selalu menempatkan posisi keindahan, semangat dan kebahagiaan saya ketika saya bisa bermanfaat untuk orang lain, mencapai suatu prestasi, dan bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan orang lain. Ketika banyak orang lain berlomba-lomba untuk mencintai orang lain, bahkan dengan cinta buta, saya berusaha berdjoeang untuk mencintai diri saya sendiri. Inilah cinta dengan logika.

Mencintai diri sendiri bukan berarti banyak tidur, banyak santai, atau banyak rekreasi. Mencintai diri sendiri artinya: saya harus berprestasi, saya harus berhasil dan sukses, saya harus bermanfaat untuk orang lain, saya harus bisa membuka lapangan kerja baru, saya harus memberi beasiswa ke banyak orang, dsb. Implikasinya mungkin sangat berat, karena saya harus bekerja lebih keras, mengurangi tidur, atau mendisiplinkan diri saya sendiri. Tapi itu semua saya lakukan karena saya mencintai diri saya sendiri. Ya inilah mungkin hakekat dari ungkapan si Maria, “Cinta adalah siksaan yang manis”. Bagi saya, mencintai diri sendiri adalah modal penting dalam kesuksesan mencintai orang lain.

Kebersamaan dan penerimaan bukan sesuatu yang selalu membahagiakan saya. Kadang saya secara fisik harus meninggalkan semua orang yang saya kasihi dan cintai. Kadang saya harus bersikap keras kepada para pedjoeang saya, kepada sahabat saya dan bahkan kepada istri dan anak-anak saya, sehingga sering mereka sulit memahami dan menerima saya. Tapi itu semua saya lakukan karena cinta saya yang teramat sangat kepada mereka, saya tidak ingin mereka gagal, saya ingin semua orang bisa berhasil, dan memberi manfaat kepada orang lain dengan lebih baik. Dan inilah cara saya menghembuskan ayat-ayat cinta kepada mereka :)

Meskipun sebenarnya ada kebersamaan dan penerimaan cinta yang selalu saya bahagiakan dan harapkan, yaitu dari Sang Penguasa Alam dan Pemilik Jagad Raya. Inilah koridor penting jalan cinta kita, ingat bahwa cinta mati hanya milik Allah sang penguasa jagad raya bukan untuk makhluk Allah.

Jadi pesan saya, wahai para pemuda, mari letakkan posisi hati kita pada tempatnya. Cinta itu tidak akan membunuhmu, kesalahan posisi hati itulah yang akan membunuhmu.

2. UBAH DEFINISI DAN PARADIGMA CINTA

Kesalahan kedua yang sering kita lakukan adalah kesalahan memahami definisi dan paradigma cinta. Banyak penelitian tentang cinta dilakukan. Salah satu yang cukup terkenal adalah formula cinta dari Robert J Sternberg: A Triangular Theory of Love (Teori Segitiga Cinta).

romi-teorisegitigacinta.jpg

Menurut Sternberg, jenis cinta tergantung dari sifat hubungan kita dengan orang lain. Komitmen saja tanpa gairah dan keakraban adalah Cinta Kosong. Gairah saja tanpa dua unsur yang lain artinya tergila-gila. komitmen dan keakraban tanpa gairah menjadikan persepsi cinta sebagai Cinta Persahabatan. Keakraban dan gairah tanpa komitmen membuat Cinta Romantis. Sedangkan komitmen dan gairah tanpa keakraban menyebabkan Cinta Buta. Ketika kita berhasil menyatukan komitmen, gairah dan keakraban maka akan terjadi Cinta Sempurna.

Banyak yang masih meragukan teori ini bisa berlaku valid untuk semua jenis hubungan cinta, misalnya cinta seorang anak kepada ibunya dan sebaliknya. Hasil penelitian dari Lauren Slater juga mengisyaratkan bahwa susunan kimia otak pemicu romantika, ternyata tidak ada hubungannya dengan komitmen yang memupuk kelekatan jangka panjang. Salim A Fillah, penulis buku Jalan Cinta Para Pejuang, mengatakan bahwa Komitmen adalah sudut kunci dalam teori cinta Robert J Sternberg. Komitmen adalah ikrar kerelaan berkorban, memberi dan bukan meminta, berinisiatif tanpa menunggu dan memahami bukan menuntut.

Sebagian masalah cinta mungkin bisa terwakili oleh Teori Segitia Cinta-nya Sternberg. Tapi kalau kita coba simpulkan dari berbagai referensi lain, dari pandangan Slater, Salim A Fillah dan Anis Matta lewat seri cinta dan pahlawannya di majalah Tarbawi. Cinta Sempurna adalah suatu proses panjang, hasil dari cinta kasih dua manusia yang terjalin dalam suatu hubungan yang sah. Cinta Sempurna bukanlah cinta pada pandangan pertama, karena itu mungkin hanya suatu gairah atau ketergila-gilaan, istilahnya Slater. Cinta Sempurna juga bukan cinta lokasi, cinta monyet, cinta jadi-jadian, cinta karena fisik atau cinta karena harta dan tahta. Cinta Sempurna adalah hasil suatu perdjoeangan panjang. Hasil dari kekuatan kita untuk menyelesaikan masalah perbedaan, memahami kekurangan dan kelebihan, merekatkan hati dan komitmen untuk tetap ada di jalanNya.

Mudah-mudahan ketika terjadi penolakan cinta, kita berani berikrar dengan gagah, ”Lupakan dirimu dan aku akan kembali padaNya”. Catat bahwa huruf N untuk Nya itu harus kapital :) Jangan lupa ubah genjrengan gitar kita dari lagu kenangan kisah cinta, ke lagu: Menghapus Jejakmu (Peterpan), Baiknya (Ada Band), Musnah (Andra and The Backbone), atau Aku Bukan Untukmu (Rossa) hihihi …

Resapi dua syair ini:

Baiknya semua kenangan yang terindah, tak ku balut dengan tangis
Baiknya setiap kerinduan, yang merajam tak kuratapi penuh penyesalan

Dan bangkitlah, lanjutkan perdjoeangan!

Ingatlah bahwa para legenda tidak pernah mengejar cinta, karena itu:

Janganlah kalian mengejar cinta. Jadilah legenda yang penuh dengan prestasi dan manfaat untuk orang lain, maka cinta akan silih berganti mengejar kalian. Dan ketika masa itu datang, pilihlah takdir cintamu, kelola cintamu, atur kadarnya, arahkan posisinya, dan kontrol kekuatan cinta sesuai dengan tempatnya.

Dan itulah jalan cinta para legenda …

Tetap dalam perdjoeangan!

ttd-small.jpg

Sabtu, 15 Mei 2010

Salah Kaprah Internasionalisasi Kampus

Posted June 12th, 2009 by admin



Tiga perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia, yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), baru saja mendapat kucuran dana segar dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Depdiknas, masing-masing sebesar Rp 70 miliar. Dana segar itu bagian dari komitmen pemerintah untuk mendongkrak agar ketiganya menjadi perguruan tinggi kelas dunia.

UPAYA itu tidak sia-sia. Berdasarkan pemeringkatan yang diselenggarakan Times Higher Education (Thes), baik ITB, UI, maupun UGM termasuk jajaran 500 perguruan tinggi (PT) kelas dunia, bahkan masuk 100 besar dalam level Asia.

Karuan saja manajemen ketiga PTN itu makin bersemangat untuk melengkapi berbagai kekurangannya selama ini. Respon positif pun terus berdatangan. Semua itu menunjukkan, PT domestik sebenarnya bisa bersaing di level regional bahkan global.

Menjadi PT kelas dunia, yang disebut Dikti sebagai ’’internasionalisasi kampus’’, jelas bukan pekerjaan mudah. Di tengah persaingan global, masuk peringat dunia menjadi impian banyak PT.
Bahkan perguruan tinggi di negara-negara maju terus membenahi diri, agar selalu memenangi persaingan.

Karena itu, hampir dalam setiap pemeringkatan dunia, kampus-kampus di negara maju seperti Eropa, AS, dan Jepang selalu berada di urutan atas.

Semangat menggebu dari segenap pengelola kampus untuk bersaing memperebutkan tiket sebagai global university menarik dicermati. Bukan saja terkait dengan visi-misinya, tetapi juga dampak ikutan dari ’’proyek’’ tersebut terhadap proses belajar-mengajar.

Urusan terakhir inilah yang seolah kurang mendapat tempat. Padahal justru dalam fase ini, kualitas lulusan PT domestik yang hingga kini belum meningkat signifikan mestinya dapat lebih ditonjolkan.
Keganjilan
Geliat internasionalisasi kampus memang positif. Tetapi jika tidak diimbangi kesiapan software pendidikan tinggi, justru akan memicu terjadinya gap yang menganga. Di sinilah muncul banyak keganjilan dalam internasionalisasi kampus. Jika dicermati, sedikitnya ada tiga kesalahkaprahan dalam program internasionalisasi kampus.

Pertama, lembaga penilai belum komprehensif. Di tingkat dunia, Thes adalah pemeringkatan parsial yang derajat penilaiannya paling rendah. Thes hanya menonjolkan kesediaan hardware pendidikan tinggi seperti bangunan, sarana laboratorium, jumlah dosen, dan jurnal ilmiah.

Padahal masih ada lembaga pemeringkatan yang lebih komprehensif, seperti Shang Hai Jiao Tong (China) dan Webometrics. Shang Hai Jiao Tong adalah pemeringkatan yang paling komprehensif, sekaligus paling ketat, dalam skoringnya..

Berdasarkan hasil pengukuran terakhir (2008), tak satu pun PT di Indonesia yang masuk kategori lembaga ini. Sebab sudut pandang pemeringkatan lebih didasarkan pada mutu lulusan, proses belajar-
mengajar, serta daya inovasi iptek dari PT bersangkutan terhadap inovasi kebudayaan dan produk peradaban berskala dunia (The Japan Times, 26/5/09).

Upaya Dikti menggelontorkan dana yang tak sedikit itu mestinya diarahkan untuk pemeringkatan pada tataran yang paling ketat, dan bukan mengambil pemeringkatan pada tataran rendah.

Apalagi dalam pemeringkatan Thes, Dikti hanya mengikutkan PTN saja, belum merata ke PTS-PTS. Sayang sekali kalau uang negara digunakan hanya untuk lip service, tetapi jauh dari problem dasar pada kampus di Indonesia selama ini.

Kedua, program internasionalisasi kampus justru meninggalkan kekayaan khazanah lokal dan kearifan lokal. Internasionalisasi bukan berarti semuanya serbaglobal, sehingga meninggalkan khazanah lokal / regional. Misalnya penggunaan bahasa akademik yang semuanya seragam: bahasa Inggris.

Unesco sudah mematenkan 12 bahasa internasional sebagai bahasa dunia. Tetapi hampir semua PT dengan kelas/kampus berskala global selalu berbahasa Inggris. Internasionalisasi kampus seperti ini justru mengampanyekan potensi luar dan meninggalkan potensi domestik / lokal.
Kompetensi
Ketiga, software pendidikan tinggi justru ditinggalkan. Menurut Prof Haruka Sato, pakar pendidikan tinggi dari Keio University Jepang, software pendidikan tinggi berskala global adalah seperangkat kurikulum dan sistem pendidikan yang langsung mengkait dengan urusan kompetensi peserta didik.

Dari sinilah sebenarnya hakikat dan makna pendidikan tinggi itu berawal. Artinya, percuma mengejar pemeringkatan kelas dunia, jika kompetensi peserta didik dalam skala lokal saja masih diragukan. Terbukti dari kian sedikitnya peluang dan pencapaian kerja setelah lulus.

Di Jepang, PT justru berlomba melakukan inovasi pembelajaran sehingga 90 persen lulusannya bisa tertampung ke dalam pasar kerja dan banyak diantaranya yang berhasil memimpin industri Jepang yang tersebar di seluruh dunia.

Padahal penduduk Jepang dikenal memiliki kemampuan berbahasa Inggris terendah di dunia. Namun daya kreasi warganya yang luar biasa bisa menjadikan Jepang menjadi ’’panutan’’ dalam pendidikan di tingkat global.

Karena itu, kelas global di Jepang justru bukan didominasi perguruan tinggi dengan English based (pemakaian bahasa Inggris untuk kelas internasional) , tapi justru Japanese based (penggunaan bahasa Jepang dalam pergaulan akademik tingkat dunia).

Kementerian Pendidikan Jepang bahkan mewajibkan siapapun yang kuliah di negerinya harus belajar dulu bahasa Jepang. Semua itu difasilitasi pemerintah dan dapat diakses gratis oleh mahasiswa asing. Kebijakan itu kini juga ditiru Jerman, Belanda, dan Prancis.

Harus difahami, internasionalisasi kampus bukan berarti menghilangkan atau meninggalkan kearifan lokal, menggunakan satu bahasa akademik (Inggris), serta mengejar pemeringkatan dan label sertifikasi seremonial.

Sebelum salah kaprah itu berakibat fatal bagi masa depan pendidikan tinggi dan masa depan anak bangsa, pemerintah (melalui Dikti) bersama semua stakeholders pendidikan tinggi di Tanah Air perlu mendesain ulang dengan menebalkan rasa keindonesiaan.

Semangat menggebu untuk menginternasionalis asi kampus dapat dirancang dengan sesuai kekhasan dan khazanah lokal, kemudian dikemas secara apik menjadi daya saing dalam skala global.

Dengan demikian, kelas kampus global benar-benar mengangkat harkat dan marabat kekayaan khazanah bangsa Indonesia di mata dunia. (Tasroh SS, mahasiswa tugas belajar S2 di Jepang-32)

sumber: http://suaramerdeka.com/smcetak/index.php?fuseaction=beritacetak.detailb...

Tugas Moral Guru

Apa yang dapat kita banggakan bila kita mencermati prestasi kompetensi Tenaga Kerja Indonesia bila dibandingkan dengan 55 negara lain. Ternyata dari tahun 2003 hingga 2008, kompetensi Tenaga Kerja Indonesia tersebut selalu menempati rata-rata urutan ke–50, berdasarkan hasil laporan penelitian Institut Pengembangan Manajemen Internasional tahun 2008.

Kita ketahui bersama bahwa mencetak individu yang berkompetensi di bidangnya, adalah merupakan rangkaian panjang kegiatan pendidikan dari mulai sekolah dasar, menengah hingga perguruan tinggi. Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menyiapkan peserta didik sebagai raw – material yang secara kognitif, psikomotorik dan afektif dicetak dalam satuan pendidikan tersebut yang optimal, berkualitas dan terarah, yang menerapakan kurikulum yang menstimulir peserta didik agar beretos kerja yang tinggi, tangguh dan mandiri.

Sepintas memang kita bisa menyimpulkan bahwa kompetensi tenaga kerja kita, tidak berhubungan langsung dengan sistem pembelajaran di sekolah dasar dan menengah, bahkan kita lebih setuju bila pencetakan outcome yang memadai hanyalah tugas dari satuan pendidikan perguruan tinggi dan yang lebih ekstrim lagi adalah lembaga pendidikan non formal (Lembaga Pendidikan Ketrampilan).

Tetapi perlu juga dicermati bahwa setinggi apapun kualitas perguruan tinggi atau lembaga non formal, hanya akan berhasil guna bila mencetak outcome yang memiliki sikap mental yang baik, memilki tanggung jawab, inovatif dan lain sebagainya. Tentunya mencetak karakter yang demikian tidak semudah membalik tangan, dalam artian bahwa upaya tersebut di atas haruslah dimulai sejak dini.

Sebagai konsekuensi logis dari ketercengangan kita terhadap kompetensi tenaga kerja kita yang masih jauh tertinggal tersebut, kita untuk sementara berargumen bahwa kasus tersebut adalah gambaran dari sistem pendidikan kita yang gagal. Sehingga pembenahan sistem pendidikan di tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah perlua mendapatkan perhatian yang lebih fokus,

Hal ini memang perlu lebih teliti disikapi, lantaran pada satuan pendidikan ini, sikap mental positip peserta didiklah yang mendapatkan porsi pedogogis yang lebih dominan. Disamping itu pula perlu pula bimbingan dari instans yang terkait untuk mengadakan bimbingan bagi para guru, agar lebih signifikan dalam mengaplikasikan model pembelajaran dan lain sebagainya.

Tentunya wacana tersebut di atas akan menjadi tantangan bagi guru yang mendidik peserta didiknya sehingga mereka mampu menjadi figur yang bisa diharapkan nantinya di masyarakat. Toh para pendidik ini telah banyak difasilitasi dengan kelengkapan paedogogis di Diklat PLPG. Upaya ini memang mau tidak mau adalah harga mati bagi tiap pendidik, karena pendidik telah memasuki era yang menuntut demikian

Tantangan moral ini hendaknya disikapi dengan lebih professional dan ditekadi menjadi tugas moral, karena telah diinstruksikan menurut Peraturan Pemerintah Reoublik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa setiap pendidik haruslah bersikap professional.

Hal ini berarti bahwa guru sebagai pendidik secara eksternal menjad barisan terdepan dalam mengemban moralitas bangsa dan secara internal adalah berperan sebagai dokter yang mengobati peserta didik yang mengalami sakit, yang harus diinjeksi dengan jarum suntik model pembelajaran inovatif yang berisi obat-obat yang berujud materi pembelajaran. Semoga para guru sebagai pendidik dengan tangan dingin dan lapang dada mampu mengemban tugas mulia ini.

Oleh : Ir. Bambang Sukmadji | 24-Des-2009, 09:38:41 WIB
sumber: http://www. kabarindonesia.com/berita.php?pil=13&jd=Tugas+Moral+Guru&dn=20091224015629

Berpikir yang Cerdik

"Meskipun anda bukanlah seorang jenius, anda dapat mengunakan strategi yang sama seperti yang digunakan Aristotle dan Einstein untuk memanfaatkan kreatifitas berpikir anda dan mengatur masa depan anda lebih baik."
Kedelapan statregi berikut ini dapat mendorong cara berpikir anda lebih produktif daripada reproduktif untuk memecahkan masalah-masalah. "Strategi-strategi ini pada umumnya ditemui pada gaya berpikir bagi orang-orang yang jenius dan kreatif di ilmu pengetahuan, kesenian, dan industri-industri sepanjang sejarah."

  1. Lihatlah persoalan anda dengan berbagai cara yang berbeda dan cari perspektif baru yang belum pernah dipakai oleh orang lain (atau belum diterbitkan!)
    Leonardo da Vinci percaya bahwa untuk menambah pengetahuan tentang suatu masalah dimulai dengan mempelajari cara menyusun ulang masalah tersebut dengan berbagai cara yang berbeda. Ia merasa bahwa pertama kali melihat masalah itu terlalu prubasangka. Seringkali, masalah itu dapat disusun ulang dan menjadi suatu masalah yang baru.
  2. Bayangkan!
    Ketika Einstein memikirkan suatu masalah, ia selalu menemukan bahwa perlu untuk merumuskan persoalannya dalam berbagai cara yang berbeda-beda yang masuk akal, termasuk menggunakan diagram-diagram. Ia membayangkan solusi-solusinya dan yakin bahwa kata-kata dan angka-angka tidak memegang peran penting dalam proses berpikirnya.
  3. Hasilkan!
    Karakteristik anak jenius yang membedakan adalah produktivitas.
    Thomas Edison memegang 1.093 paten. Dia memberikan jaminan produktivitas dengan memberikan ide-ide pada diri sendiri dan asistennya. Dalam studi dari 2.036 ilmuwan sepanjang sejarah, Dekan Keith Simonton, dari University of California di Davis, menemukan bahwa ilmuwan-ilmuwan yang dihormati tidak hanya menciptakan banyak karya-karya terkenal, tapi banyak yang buruk. Mereka tidak takut gagal, atau membuat kesalahan besar untuk meraih hasil yang hebat.
  4. Buat kombinasi-kombinasi baru.
    Kombinasikan, and kombinasikan ulang, ide-ide, bayangan-bayangan, and pikiran-pikiran ke dalam kombinasi yang berbeda, tidak peduli akan keanehan atau ketidakwajaran.
    Keturunan hukum-hukum yang menjadi dasar ilmu genetika modern berasal dari pendeta Austria, Grego Mendel, yang mengkombinasikan matematika dan biologi untuk menciptakan ilmu pengetahuan baru.
  5. Bentuklah hubungan-hubungan;
    buatlah hubungan antara peroalan-persoalan yang berbeda
    Da Vinci menemukan hubungan antara suara bel dan sebuah batu yang jatuh ke dalam air. Hal ini memungkinkan Da Vinci untuk membuat hubungan bahwa suara mengalir melalui gelombang-gelombang. Samuel Morse menciptakan stasiun-stasiun penghubung untuk tanda-tanda telegraf ketika memperhatikan stasiun-stasiun penghubung untuk kuda-kuda.
  6. Berpikir secara berlawanan.
    Ahli ilmu fisika Niels Bohr percaya bahwa jika andamemegang pertentangan secara bersamaan, kemudian anda menyingkirkan pikiran anda dan akal anda bergerak menuju tingkatan yang baru. Kemampuannya untuk membayangkan secara bersamaan mengenai suatu partikel dan suatu gelombang mengarah pada konsepsinya tentang prinsip saling melengkapi. Dengan menyingkirkan pikiran (logis) dapat memungkinkan akal anda untuk menciptakan sesuatu yang baru.
  7. Berpikir secara metafor.
    Aristotle menganggap metafora sebagai tanda yang jenius, dan percaya bahwa individual yang memiliki kapasitas untuk menerima persamaan antara dua keberadaan yang berbeda dan menghubungkannya adalah individual yang punya bakat khusus.
  8. Persiapkan diri anda untuk menghadapi kesempatan.
    Bilamana kita mencoba sesuatu dan gagal, kita akhirnya mengerjakan sesuatu yang lain. Hal ini adalah prinsip pertama dari kekreatifan. Kegagalan dapat menjadi produktif hanya jika kita tidak terfokus pada satu hal sebagai suatu hasil yang tidak produktif. Sebaliknya, menganalisa proses, komponen-kompnen dan bagaimana anda dapat mengubahnya untuk memperoleh hasil yang lain. Jangan bertanya, ?Mengapa saya gagal?? melainkan ?Apa yang telah saya lakukan??

Diadaptasi dengan seijin: Michalko, Michael, Thinking Like a Genius: Eight strategies used by the super creative, from Aristotle and Leonardo to Einstein and Edison (New Horizons for Learning) seperti yang dilihat dari http://www.newhorizons.org/wwart_michalko1.html, (June 15, 1999) Artikel ini pertama kali diterbitkan di THE FUTURIST, May 1998

Jumat, 14 Mei 2010

Menyelesaikan masalah dengan Membuat Masalah Baru

Kebiasaan pemerintah, selalu menutup sebuah masalah dengan memunculkan masalah baru................bersambung

Minggu, 02 Mei 2010

2 mei 2010

Hari Pendidikan Nasional.........hari bersejarah untuk mereka yang telah memperoleh pendidikan ya harusnya setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, namun apa yang terjadi di negeri yang katanya menjunjung hak asasi warganya, tidak semua usia produktif mendapatkan haknya memperoleh pendidikan, memperoleh ilmu pengetahuan.............